Sabtu, 06 Desember 2014

paper mikotoksin



BAB I
PENDAHULUAN
1.1              LATAR BELAKANG
Saat ini banyak masyarakat yang sangat mengkhawatirkan zat- zat kimia yang banyak terkandung dalam makanan- makanan baku maupun makanan- makanan olahan (instan). Padahal keberadaan toksin alami dalam makanan yang dihasilkan oleh mikroorganisme juga sangat perlu diperhatikan karena toksin ini  bersifat karsinogenik yang lebih potensial. Salah satu toksin alami yang bisa terkandung dalam makanan adalah mikotoksin. Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin.

1.2              RUMUSAN MASALAH
1.       Apa yang dimaksud dengan mikotoksin?
2.       Apa saja jenis dari mikotoksin?
3.       Bagaimana cara pencegahan dan penanganan mikotoksin?
1.3              TUJUAN
Agar mahasiswa terutama mahasiswa kedokteran hewan mengetahui tentang mikotoksin, sumber, jenis, penyakit, serta cara pencegahan dan penanganan dari mikotoksin.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1              PENGERTIAN MIKOTOKSIN
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin.

2.2              JENIS-JENIS MIKOTOKSIN
2.2.1        AFLATOKSIN
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus Flavus Toxin.  Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari jamur Aspergillus Flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. Aspergillus Flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2)   Sedangkan Aspergillus Parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2.  Dimana dibedakan berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapisan tipis dibawah sinar UV, yang memberikan warna biru (blue) untuk B, sedangkan warna hijau (green) untuk yang G. Aspergillus Flavus dan Aspergillus Parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan ph optimum 6. 
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Alfatoksin berupa kristal yang larut dalam pelarut polar separti kloroform, methanol dan dimetil sulfoksida. Kristal alfaktosin stabil pada kondisi tanpa cahaya dan pada suhu sampai lebih dari 1000C, bersifat termotoleran pada sampao 2500C dan peka terhadap basa (NaOH, NH3). Keefektifan proses penurunan konsentrasi alfatoksin pada bahan pangan dipengaruhi oleh factor seperti protein, pH, suhu, dan lamaya pengolahan. Toksisitas alfatoksin dipengaruhi oleh beberapa factor-faktor, diantaranya lingkugan, rute pemaparan, dosis, lama pemaparan, umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan dan status target.
Jenis mikotoksik ini sering terdapat dalam jagung dan hasil olahannya, biji kacang, susu, tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada pasta dan mie instan.
Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti, telur, dan daging ayam. Telah dilaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver  dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.
Gambar 1.      Struktur Kimia Aflatoksin

2.2.2        CITRININ
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium Citrinum oleh Thom pada tahun 1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah.
Gambar 2.      Struktur Kimia Citrinin

2.2.3        FUMONISIN
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh jamur Fusarium spp., terutama Fusarium Moniliforme dan Fusarium ProliferatumMikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari Fusarium Moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988).  Selain Fusarium Moniliforme dan Fusarium Proliferatum, terdapat pula jamur lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu Fusarium Nygamai, Fusarium Anthophilum, Fusarium Diamini dan Fusarium Napiforme
 Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.  Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh Fusarium ProliferatumFumonisin pertama kali ditemukan dalam jagung pada pertengahan tahun 1980-an. Keberadaannya juga terdapat pada komoditas pangan lain seperti beras dan sorgum namun konsentrasinya lebih rendah dibanding pada jagung.  Batasan fumonisin dalam jagung mentah sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, stres terhadap kekeringan dan hujan selama periode sebelum panen dan periode panen, kondisi penyimpanan, dan gangguan serangga. 
Konsentrasi fumonisin biasanya meningkat pada musim panas dan kering dan pada periode dimana kelembaban tinggi. Pada jagung yang disimpan, jika kelembabannya berkisar antara 18 % - 23 % biasanya produksi jamur meningkat sebanding dengan konsentrasi fumonisinnya.
Gangguan serangga meningkatkan produksi fumonisin. Namun pada jagung hibrid jarang terinfeksi oleh Fusarium karena disisipi oleh gen dari Bacillus Thuringiensis yang memproduksi protein yang toksik terhadap serangga sehingga konsentrasi fumonisin yang terdapat pada jagung hibrid lebih rendah daripada jagung non hibrid. 
Struktur kimia fumonisin ialah hidrokarbon panjang yang dihidroksilasi dan mengandung gugus metil dan amino dengan berat molekul 721. Substansi murni fumonisin berbentuk bubuk hidroskopik berwarna putih dan larut dalam air, metanol dan asetonitril-air. Fumonisin sulit larut dalam pelarut organik seperti kloroform. Fumonisin stabil dalam metanol jika disimpan pada -18 °C atau pada suhu 25 °C dalam asetonitril-air 1:1 selama lebih dari 6 bulan. Pada suhu diatas 25 °C akan terdegradasi. Mikotoksin ini sering terdapat bersamaan dengan mikotoksin lain seperti aflatoksin, DON dan zearalenon. Fumonisin cukup stabil dan cukup tahan terhadap panas.
Fumonisin diperkirakan bersifat toksik karena mempengaruhi sintesi sphingolipid. klop; Perubahan rasio dasar sphingolipid terjadi karena fumonisin menghambat enzim eramide sythetase. Efek fumonisin pada hewan target setelah mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi yaitu hilang nafsu makan, lesu dan mengalami gangguan saraf. 
Pada tikus yang diberi pakan mengandung fumonisin dari FUSARIUM moniliforme menunjukkan terjadi perkembangan karsinoma hepatoseluler primer. Efek yang sama juga terjadi saat digunakan FB1,FB2 dan FB3. Fumonisin B1 (FB1) akan mempengaruhi janin pada tikus yang hamil, yaitu menyebabkan berat janin rendah dan perkembangan tulang fetus terhambat dibandingkan dengan kontrol.  Efek lain pernah ditemukan pada organisme lain, dimana FB1 menghambat pertumbuhan sel, menyebabkan akumulasi sphingoid dan merubah metabolisme lemak pada Saccharomyces cereviceae. 
Fumonisin juga bersifat fitotoksik, merusak membran sel dan mengurangi sintesis klorofil.  Selain itu fumonisin juga mengganggu biosintesis         sphingolipid pada tanaman dan bersifat  patogen pada jagung yang terinfeksi spesies Fusarium.  Fumonisin dapat menyebabkan penyakit sporadis yang fatal pada kuda dan spesies lain yang dikenal sebagai   Eguine Leucoencephalomalacia (ELEM). ELEM merupakan indikator keberadaan fumonisin.
Hasil otopsi pada hewan percobaan menunjukkan fumonisin menyebabkan udema pada otak dan peradangan pada organ hati (terjadi fibrosis pada centrilobular (area). Pada babi, menginduksi  oedema paru-paru dan hidrotoraks dimana rongga toraks berisi cairan berwarna kuning. Selain itu terdapat juga masalah dalam pernapasan dan kematian pada janin. 
Sebetulnya tidak ada bukti mengenai efek fumonisin terhadap kesehatan manusia. Namun diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi jagung yang tinggi di beberapa daerah didunia dengan terjadinya kanker esofagus. Tetapi perlu dilakukan studi epidemi yang lebih dalam mengenai peranan Fusarium Moniliforme dan metabolitnya (fumonisin) terhadap kanker esofagus yang banyak terjadi di Transkei Cina dan Italia Utara, karena pada studi-studi ini kontrol yang digunakan masih kurang, sehingga belum dapat disimpulkan sepenuhnya.
Gambar 3.      Struktur Kimia Fumonisin

2.2.4        DEOKSINIVALENOL
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis trikotesena tipe B yang paling polar dan stabil. Jenis mikotoksin ini diproduksi oleh jamur Fusarium Graminearium (Gibberella zeae) dan Fusarium Culmorum, dimana keduanya merupakan patogen pada tanaman. DON merupakan suatu epoksi-sesquiter-penoid yang mempunyai 1 gugus hidroksil primer dan 2 gugus hidroksil sekunder serta gugus karbonil berkonjugasi yang membedakannya dengan trikotesena tipe lain. 
Keberadaan DON kadang-kadang disertai pula oleh mikotoksin lain yang dihasilkan oleh Fusarium seperti zearalenon, nivalenol (dan trikotesena lain) dan juga fumonisin. DON merupakan salah satu penyebab terjadinya mikotoksikosis pada hewan. Merupakan mikotoksin yang stabil secara termal, oleh karena itu sangat sulit untuk menghilangkannya dari komoditi pangan yang rentan terkontaminasi senyawa ini, seperti pada gandum. DON banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperti gandum, barley, oat, gandum hitam, tepung jagung, sorgum, tritikalus dan beras. Pembentukan DON pada tanaman pertanian tergantung pada iklim dan sangat bervariasi antar daerah dengan geografi tertentu.
Konsentrasi DON yang pernah dideteksi pada bahan pangan yaitu pada barley mencapai 0,004 mg/kg -9 mg/kg, 0,003 mg/kg -3,7 mg/kg pada jagung, 0,004 mg/kg – 0,76 mg/kg pada oat, 0,006 mg/kg - 5 mg/kg pada beras, 0,013 mg/kg - 0,240 mg/kg pada gandum hitam, dan 0,001 mg/kg -6 mg/kg pada gandum. 
Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula ditemukan pada produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mi instan, makanan bayi, malt dan bir. Transfer DON dari pakan ternak ke dalam daging dan produk hewan lainnya sangat rendah. Selain itu produk dari hewan ini tidak mempunyai kontribusi yang nyata terhadap manusia. 
Toksisitas akut DON diperlihatkan pada babi dengan gejala keracunan seperti muntah-muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan diare. Intoksikasi akut menyebabkan nekrosis pada beberapa jaringan seperti saluran pencernaan, jaringan limfoid dan sumsum tulang. 
Penelusuran subkronik secara oral pada beberapa hewan percobaan seperti babi, mencit dan tikus juga menunjukkan terjadi penurunan asupan makan dan peningkatan berat badan menjadi sangat lambat serta terjadi perubahan pada beberapa parameter darah seperti pada serum immunoglobin. 
DON dapat dimetabolisme melalui de-epoksidasi dan glukuronidasi menjadi metabolit yang tidak terlalu toksik serta mempunyai efek terhadap kesehatan setelah diberikan secara tunggal, jangka pendek ataupun jangka panjang. Pada pemberian tunggal, efek toksikologinya mempunyai 2 karakter yaitu menurunkan konsumsi makanan (anoreksia) dan muntah (emesis). Selain itu dapat mengganggu proses pembelahan sel dan merusak saluran pencernaan. 
Efek yang paling tampak dalam pemberian DON adalah menurunya pertumbuhan hewan target. Pada dosis yang lebih tinggi akan berefek terhadap, thymus, limpa dan hati. Pada studi selama 2 tahun terhadap mencit, pemberian dengan dosis rendah (0,1 mg/kg BB/hari) menyebabkan menurunnya berat badan. Namun hasil ini secara biologi tidak nyata, karena tidak ada perubahan lain pada dosis ini, maka Observed Effect Level (NOEL)-nya ialah 0,1 mg/kg BB/hari. 
DON tidak mutagenik pada bakteri, namun pada studi in vivo dan in vitro ditemukan adanya penyimpangan pada kromosom yang mengindikasikan DON genotoksik. Memiliki sifat teratogenik tetapi tidak diturunkan. Hal ini berdasarkan studi pada mencit yang sedang hamil yang diberi 5 mg/kg BB/hari DON secara gavage selama periode gestasi 8 hari -11 hari. Namun saat diberi dosis 2,5 mg/kg BB/hari hal ini tidak berlaku. Jika DON ditambahkan pada pakan, NOEL untuk toksisitas maternal dan toksisitas feto-nya ialah 0,38 mg/kg BB/hari. 
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, DON dapat berefek tidak baik terhadat sistem kekebalan tubuh. DON tidak menyebabkan efek karsinogen, mutagen ataupun teratogen karena bukti ilmiahnya belum pernah ditemukan baik melalui percobaan hewan di laboratorium maupun pada hewan target. 

2.2.5        PATULIN
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum. Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin. Merupakan mikotoksin yang dapat mengkontaminasi berbagai jenis buah (apel,anggur, pir), sayuran, jagung kering, sereal dan makanan ternak. Sumber utama patulin yang membahayakan manusia terdapat pada apel dan jus apel, terutama yang dibuat dengan pemerasan secara langsung. Produk lain yang mengandung apel seperti selai, pie juga mengandung patulin dalam konsentrasi rendah. Cider manis juga dapat mengandung patulin jika ke dalamnya ditambahkan jus apel. Patulin yang terdapat pada apel busuk yang terkontaminasi oleh jamur dan juga pada cider apel manis yang diperjualbelikan mencapai 45 mg/liter. 
Pada studi akut dan jangka pendeknya, patulin menyebabkan hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan. Berdasarkan studi toksisitas yang telah dilakukan selama 13 minggu pada tikus yaitu 0,8 mg/kg BB/hari, menyebabkan melemahnya fungsi ginjal. Selain itu juga menyebabkan hyperaemia di duodenum pada kelompok tikus yang diberi dosis menengah dan tinggi. Dua studi toksisitas reproduktif pada tikus dan studi teratogenitas pada mencit dan tikus sudah dilakukan. Hasilnya tidak ada efek reproduktif ataupun teratogenik yang terjadi pada mencit ataupun tikus pada dosis sampai 1,5 mg/kg BB/hari. Namun peningkatan frekuensi resorpsi fetal dan toksisitas maternal ditemukan pada perlakuan dosis tinggi yang mengindikasikan patulin toksik pada embrio. 
Pada tikus, dosis patulin yang diberikan pada umumnya akan hilang setelah 48 jam pada feses maupun urin; dan kurang dari 2 % akan terekspirasi sebagai CO2; sekitar 2 % dari dosis yang diberikan itu akan tetap ada setelah 7 hari, dan biasanya terdapat dalam eritrosit. 
Kera ekor babi (Macaca nemestrina) dapat mentoleransi konsumsi patulin sampai  0,5 mg/kg BB/hari selama 4 minggu tanpa efek yag merugikan.  Eksperimen in vitro dan in vivo mengindikasikan bahwa patulin mempunyai sifat imunosupresan. Namun dosis yang menyebabkan efek ini, lebih tinggi daripada NOEL dalam studi toksisitas jangka pendek dan studi gabungan antara toksistas reproduktif-toksisitas jangka panjang-studi karsinogenitas. 
Meskipun terdapat data mengenai genotoksisitas, sebagian besar pengujian menggunakan sel mamalia memberikan hasil positif sedangkan pengujian dengan bakteri memberikan hasilnegatif. Beberapa studi mengindikasikan bahwa patulin mengganggu sintesis DNA. Efek genotoksisitas berkaitan dengan kemampuan dan afinitas patulin yang kuat dengan kelompok sulfidril dan akibatnya enzim yang terlibat dalam replikasi DNA terhambat aktivitasnya. Dengan kata lain, dari data yang ada patulin merupakan senyawa genotoksik. Toksisitas patulin yang terbentuk dengan sistein lebih rendah daripada senyawa yang tidak dimodifikasi dalam hal toksisitas akut, teratogenitas dan mutagenitas. 

Patulin yang diinjeksi dalam dosis tinggi selama lebih dari 2 bulan berefek karsinogen,ditandai terbentuknya sarkoma pada lokasi injeksi. Pada studi jangka panjang dengan dosis rendah, efek karsinogen ini tidak terjadi. Patulin juga bersifat immunotoksik dan neurotoksik. IARC (1986) menyimpulkan tidak ada evaluasi yang dibuat mengenai karsinogenitas patulin pada manusia dan tidak ada hasil percobaan terhadap hewan yang mendukung. Berdasarkan studi jangka panjang mengenai karsinogenitas pada tikus dan mencit, JECFA menetapkan PTWI sebesar 7 µg/kg BB.
Pada studi gabungan tentang toksisitas reproduktif, toksisitas jangka panjang/karsinogenitas pada tikus, dosis patulin sebanyak 0,1 mg/kg BB/hari tidak memberikan efek terhadap penurunan berat badan pada tikus jantan. Namun patulin yang diberikan 3 kali seminggu selama 24 bulan mempunyai NOEL 43 µg/kg BB/hari.
Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, patulin akan memberikan hasil sensitif jika diberikan sebanyak 3 kali per minggu; dan ini menghasilkan PTWI yang berubah menjadi PMTDI; hal ini disebabkan karena patulin tidak terakumulasi dalam tubuh. Berdasarkan pada nilai NOEL 43 µg/kg BB/hari dan nilai            safety factor 100, nilai PMTDI yang didapat ialah 0,4 µg/kg BB.
Patulin dapat menyebabkan  hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan; selain itu juga karena afinitasnya yang kuat dengan kelompok sulfidril; patulin dapat menghambat enzim yang terlibat dalam replikasi DNA sehingga proses sintesis DNA terganggu. Patulin dalam dosis tinggi berefek karsinogen. Patulin juga bersifat immunotoksik dan neurotoksik.
Gambar 4.      Struktur Kimia Patulin


2.2.6        OCHRATOXIN
Ochratoxin dihasilkan oleh jamur dari genus Aspergillus, Fusarium, and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia, babi, ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat tiga macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang lainnya.
Pada suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwa ochratoxin A dapat ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya.Pada anak-anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya relatif lebih besar karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar.Infeksi ochratoxin A juga dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk ke saluran pernapasan. Okratoksin A mempunyai nomor CAS 303-47-9 berupa senyawa berbentuk kristal tidak berwarna dengan titik leleh 168 °C dan larut dalam kloroform, metanol, asetonitril, natrium bikarbonat cair. Jenis mikotoksik  ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari jamur Aspergillus ochraceus.  Secara alami  A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain Aspergillus ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.  Penicillium viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7. Aspergillus ochraceus tumbuh pada suhu antara  8 – 370C.  Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC).  Okratoksin A adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.
Gambar 5.      Struktur Kimia Ochratoxin


2.2.7        TRICHOTHECENES
Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys, Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium.Toksin ini ditemukan pada berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika, Asia, dan Eropa Toksin ini stabil dan tahan terhadapa pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan autoclave.Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral. Berdasarkan struktur kimia dan jamur penghasilnya, golongan trichothecene dikelompakan menjadi 4 tipe, yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C (epoksida pada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan C15 dengan 2 ikatan ester).
Gambar 6.      Struktur Kimia Trichothecenes

2.2.8        ERGOT ALKALOID
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama adalah golongan Clavicipitaceae.  Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive). Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap Claviceps purpurea, penghasil ergot alkaloid.  Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue toxicosis yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun.


2.2.9        ZEARALENONE
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh jamur dari genus Fusarium seperti Fusarium graminearum dan Fusarium culmorum dan banyak mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk tumbuhan.Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi. Salah satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada manusia adalah berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen.
Gambar 7.      Struktur Kimia Zearalenone

2.2.10    GRISEOFULVIN
Ditemukan oleh oxford pada tahun 1939 dari miselia. Dihasilkan oleh spesies jamur Penicillium Griseofulvum dan spesies lainnya yang meliputi spesies Penicillium Patulum, Penicillium albidum, Penicillium Raistrickii, Penicillium Brefeldianum, dan Penicillium Viridi-cyclopium.

2.2.11    RUBRATOXIN
Hasil metabolit Penicillium Rubrum diisolasi dari tanah, bahan pangan ,pakan dihasilkan oleh dua spesies yaitu Penicillium Rumrum dan Penicillium Purpurogenum

2.2.12    BUTENOLIDE
Merupakan mikotoksin yang diisolasi dari jamur Fusarium Equiseti dan spesies lainnya adalah Fusarium Tricinotum, Fusarium Nivale, Fusarium Roseum, Fusarium Semitectum, Fusarium Lateritium.


2.2.13    LUTEOSKYRIN
Merupakan mikotoksin penyebab hepatotoksik dan hepato carcinogenik, dihasilkan oleh Penicillium Istandicum

2.2.14    RUGULOSIN
Rugulosin merupakan metabolit antraquinoid jamur. Mikotoksin ini diisolasi dari jamur penicillium Rugulosum dan spesies lainnya yaitu  Penicillium Brunneum dan Penicillium Tardum

2.2.15    CITREOVIRIDIN
Merupakan mikotoksin  bersifat         neurotoksik dihasilkan oleh Penicillium Citreo –Viride. Jenis mikotoksin ini ditemukan oleh miyeke pada tahun 1940. Species lainnya penghasil citreoviridin adalah Penicillium Ochrosalmoneum, Penicillium Fellutanum dan Penicillium Pulvillorum

2.3              PENCEGAHAN DAN PENANGANAN MIKOTOKSIN
Kontrol terhadap mikotoksin sangat penting dilakukan terutama bagi produsen peternakan dan pabrik pakan. Kontrol terhadap timbulnya jamur dapat dilakukan dengan menjaga kadar air di dalam pakan rendah, menjaga pakan selalu segar serta menjaga peralatan agar tetap bersih. Biji-bijian yang telah dikeringkan harus disimpan di tempat yang kering dimana kadar airnya kurang dari 14 % untuk mencegah tumbuhnya jamur. Aliran udara atau venttilasi yang baik pada tempat penyimpanan pakan (biji-bijian) Penting untuk mengurangi kadar air dan menjaga agar bahan pakan tetap kering.
2.3.1.      Kontrol Kadar Air
Kandungan air dalam pakan menjadi salah satu faktor utama akan berkembang nya jamur. Air yang terkandung didalam pakan didapat dari 3 sumber yaitu :
1.                  Kandungan pakannya.
2.                  Proses pakan di pabrik
3.                  Tempat dimana pakan disimpan
Untuk mengendalikan kandungan kadar air maka ketiga faktor tersebut diatas harus diperhatikan.Jagung dan jenis biji-bijian lain merupakan bahan pakan yang tinggi kadar air dan sumber timbulnya jamur dalam pakan.Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah kontrol kadar air agar kadar airnya selalu rendah. Semua pakan mengandung kadar air tertentu , maka kadar air tersebut harus dimonitor dan dikontrol.Umumnya pada biji-bijian jarang timbul jamur, namun jika kondisinya memungkinkan maka jamur juga bisa tumbuh Biji-bijian yang ditumpuk maksimal kadar airnya adalah 15 %. Biji-bijian dengan kadar air yag tinggi memungkinkan tumbuhnya jamur akan tingi pula. Banyaknya jamur yang tumbuh pada biji-bijian yang pecah lima kali lebih banyak dibandingkan pada biji-bijian yang masih utuh.Proses penggilingan bahan pakan digunakan mesin penggiling untuk membantu pencampuran. Proses penggilingan menjadi pecahan ini menimbulkan panas.Jika tidak dikontrol, maka temperatur akan meningkat lebih dari 10 of sehingga akan timbul titik-titik air. Titik-titik air ini menunjang tumbuhnya jamur. Hal ini juga dapat terjadi terutama jika udara dingin. Sehingga perbedaan suhu ini menyebabkan air akan berkondensasi di bagian dinding tempat peggilingan. Disarankan sintem penggilingan (hummer milk) disertai dengan menggunakan sirkulasi udara /ventilasi yang dapat menurunkan / mengurangi panas pada produk pakan dan mengurangi timbulnya titik-titik air.
Proses pelleting pakan menggunakan uap air dengan penambahan panas dan penambahan air 3-5% dengan tekanan tertentu. Kemudian pellet tersebut didinginkan untuk menghilangkan panas dan mengurangi kandungan air. Jika proses pelleting dilakukan dengan tepat, maka kelebihan air dapat dikurangi. Namun jika kelebihan air ini tidak dapat dikurangi maka saat pendinginan pellet, dapat menumbuhkan jamur.Saat pendinginan pada proses pelleting,pellet yang masih panas yang keudian ditempatkan pada tempat yag dingin akan menyebabkan kondensasi pada bagian dinding. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik, karena jika proses pelleting lambat, maka resiko timbulnya jamur juga akan tinggi.



2.3.2.      Kontrol Kondisi Lingkungan Tempat Menyimpan Pakan
Untuk mengontrol pertumbuhan jamur, sumber timbulnya air dari tempat penampungan pakan dan peralatan penyimpanan perlu dihindari. Sumber air ini dapat timbul karena kebocoran tempat penyimpanan, bagian atap gudang atau atap tempat pengilingan. Timbulnya air pada pakan seringkali dilewatkan. Pada sistem perkandangan close house banyak dilakukan dengan memberikan rasa dingin yang menyebabkan kondisi lingkungan lebih lembab. Kelembaban pada sistem perkandangan ini harus dikontrol dengan sistem ventilasi yang cukup.

2.3.3.      Kontrol Agar pakan Tetap Segar
Sebaiknya pakan yang diberikan ke ternak masih dalam keadaan segar. Pakan seharusnya dikonsumsi habis maksimal dalam waktu 10 hari setelah pengiriman. Hal yang perlu dilakukan adalah mengatur sistem pengiriman pakan untuk memastikan bahwa pakan tersebut harus habis. Selain itu pemberian pakan sebaiknya diberikan secara bertahap. Ternak umumnya akan memakan pakan yang ada dibagian atas sedangkan pakan yang ada dibagian bawah telewatkan sehingga kemungkinan jamur bisa tumbuh. Untuk mencegah masalah ini, seharusnya pakan ditempat pakan dihabiskan sebelum datang pakan yang baru.Prinsip pengeluaran dari gudang juga sama yang biasa disebut dengan “all in all aut”

2.3.4.      Kebersihan Peralatan
Saat pakan dikirim ke farm, dimungkinkan terjadi kontak dengan pakan yang lama yang masih tertinggal pada saat penyimpanan pakan atau pengiriman pakan.pakan lama tersebut seringkali terdapat jamurnya dan jika kontak dengan pakan baru maka kesempatan jamur untuk tumbuh dan membentuk mikotoksin akan meningkat. Untuk mencegahnya, sisa pakan lama sebaiknya dibersihkan dahulu dari peralatan tersebut.

2.3.5.      Penggunaan Bahan Penghambat Tumbuhnya jamur (Mold inhibitor)
Penggunaan bahan kimia penghambat tumbuhnya jamur merupakan salah satu cara yang baik digunakan dalam industri pakan.
Tipe mold inhibitor utama antara lain adalah :
1.                  Asam organik atau kombinasi beberapa asam-asam organik (Propionat, sorbat, benzoat, dan asam asetat)
2.                  Garam dari asam organik (contohnya : kalsium Propionat dan potasium sorbat)
3.                  Tembaga sulfat . Bahan-bahan kimia ini baik bentuk padat ataupun cair cara kerjanya sama dan menyebar rata keseluruh paka. Umumnya bentuk asam lebih efektif dibanding bentuk yang lainnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dari jamur, Mold inhibitor (penghambat jamur) efektif jika inhibitor ini didistribusikan secara merata keseluruh bagian pakan, yang berarti keseluruhan permukaan partikel pakan berkontak langsung dengan inhibitor ini seharusnya juga menembus partikel pakan sehingga bagaian dalam jamur dapat dihambat.ukuran partikel dari mold nhibitor ini seharusnya lebih kecil dari partikel pakan.

2.3.6.      Penyimpanan Makanan Ternak
Penyimpanan bahan makanan sangatlah memegang peranan yang penting dalam menjaga kualitas makanan tersebut. Penyimpanan yang kurang tepat dapat menurunkan kualitas bahkan dapat berbahaya bagi kesehatan ternak. Sehingga diperlunya teknik penyimpanan yang tepat agar bahan kualitas bahan makanan tersebut tetap  terjaga.
Adapun cara-cara yang efektif untuk meyimpan makan ternak antara lain:
1.                  Hay
Hay adalah hijau yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar diberikan kepada ternak. Cara penimpanan makanan ini dilakukan dengan memotong (copper) hijauan yang kemudian langsung dijemur. Penjemuran dilakukan dengan disebarkan tipis dan setiap saat terus dibolak – balik 2 jam. Usahakan pada penjemuran berlangsung dalam waktu singkat sehingga kadar air menjadi 15 – 20 %. Setelah  kering dikumpul pres dan dikat tali untuk memudahkan tempat penyimpanan. Ciri-ciri hay yang baik adalah warna hijau kekuningan, buanya harum,bentuk daun masih utuh.tidak berjamur.

2.                  Silage
            Silage merupakan hijauan yang disimpan dalam bentuk segar yang diawetkan dalam silo. Penyimpanan ini dilakukan dengan memotong hijauan agar berukuran pendek ± 6 cm agar memudahkan pemadatan dalam penyimpanan. Kemudian bahan itu dilayukan sampai kadar air 60 – 70 %. Selajutnya dicampur  dengan bahan pengawet 4 – 5 % (dedak/tetas) dan dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam silo. Proses pemasukan campuran tadi akan terus berlangsung hingga silo tadi penuh. Agar silo benar-benar penuh, dalam pemasukan campuran tadi perlu diinjak-injak. Bila silo sudah penuh, permukaannya ditutup rapat sehingga udara dan air tidak dapat masuk.
Silase yang baik memiliki ciri-ciri berasa dan berbau asam serta berwarna hijau bukan coklat. Selain itu dalam penyimpanannya silo tadi tidak dijemur tetapi diletakkan di tempat yang teduh. Tidak berlendir dan tidak bergumpal melupakan cirri-ciri lain kalo silo itu baik.
3.                  Amoniasa
Amoniasi merupakan proses perombakan dari struktur keras menjadi struktur lunak. Selain itu pada proses ini juga terjadi penambahan unsure N dengan mengunakan gas (NH3) dari urea untuk meningkat kualitas dari limbah jerami. Peroses penyimpanannya hampir sama dengan silase. Yaitu dengan memasukkan jerami dimasuk kedalam silo sedikit demi sedikit sambil dinjak-injak agar menjadi padat.
Sebagai bahan tambahan, larutan dalam ember berisi 400 liter air dengan memasukkan 60 kg urea didauk sampai seluruh urea larut. Kemudian siramkan larutan urea tersebut kedalam silo yang berisi jerami. Agar silo benar-benar kedap udara, tutuplah permukaan silo dengan plastik diikat dengan rapi
Setelah satu bulan silo dapat dibuka dan jerami sudah matang. Jerami tersebut harus diangikan selama 2 hari sebelum diberikan pada ternak. Amoniasa yang baik memiliki cirri-ciri berbau urea (amoniak, memiliki struktur yang lembut dan tidak ditumbuhi jamur.



4.                  Jerami fermentasi
Fermentasi merupakan proses perombahan dari struktur keras secara fisik, kimia dan  biologi sehingga bahan dari struktur yang komplek menjadi sederhana. Hal ini akan membuat daya cerna ternak menjadi lebih efesien.
Dalam proses pembuatannya, jerami 100 kg dibutuhkan starbio 6 kg dan urea 6 kg (0,6 %). Diawali dengan penyusunan jerami dengan ketebalan ±  30 cm pada tempat yang teduh. Kemudian tebarkan starbio dan urea sesuai dengan perbandingan secara merata. Siram dengan air bersih (digembor) secara merata diatas tebaran starbio dan urea (agar terjadi reaksi). Usahakan kadar air ± 60 %. Apabila jerami masih basah (baru disabit/dipotong) penyiraman air dilakukan tidak terlalu banyak. Penyiraman secara optimal dilakukan jika jerami sudah kering, agar air membasahi secara keseluruhan lapiasan jerami.
Langkah 2,3,4 ini terus dilakukan secara silih berganti sampai jerami memenuhi tempat,minimal 1,5 meter tingginya. Setelah selesai menumpuk jerami tunggu waktu selama 21 hari, hasil jerami dibongkar dan dianginkan (jemur) agar buanya hilang. Hasil jerami fermentasi saiap diberiakan pada ternak (sapi,kambing,kerbau) dan ternak lain yang membutuhkan HPT atau untuk disiapkan untuk persediaan.untuk menghemat tempat penyimpanan dan memudahkan distribusi jerami fermentasi dipres memakai mesin pres jerami.

2.3.7.      Memperhatikan Efek Kandungan Bahan-bahan Pakan
Bahan pakan tertentu juga dapat mempengaruhi mold nhibitor,protein atau suplementasi mineral (sebagai contoh  tepung by produk unggas, tepung ikan, bungkil kedelai dan tepung batu) akan menurunkan efektifitas dari asam propionat.Bahan-bahan tersebut dapat menetralkan asam-asam bebas dan mengubahnya menjadi garam, sehingga menjadi kurang aktif sebagai inhibitor.Pakan lemak cendrung meningkatkan aktifitas asam-asam organik, dengan jalan meningkatkan penetrasi (penembusan) ke dalam partikel pakan.
Mold inhibitor yang digunakan dalam konsentrasi yang direkomendasikan, akan menghasilkan pakan yang bebas jamur, jika menginginkan pakan yang bebas jamur dalam jangka waktu yang lama,maka konsentrasi inhibitor arus tinggi. Konsentrasi inhibitor mulai menurun.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1              KESIMPULAN
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau toksin.
Adapun jenis-jenis mikotoksin adalah sebagai berikut aflatoksin, Citrinin, fumonisin, deoksinivalenol, patulin, ochratoxin ,trichothecenes ,ergot alkaloid ,zearalenone ,griseofulvin ,rubratoxin ,butenolide ,luteoskyrin ,rugulosin Dan citreoviridin.untuk mencegah bahaya daripada racun yang dihasilkan oleh jamur, maka ada beberapa cara sebagai upaya pencegahan dan penanganan mikotoksin yang meliputi kontrol kadar air, kontrol kondisi lingkungan tempat menyimpan pakan, kontrol agar pakan tetap segar, kebersihan peralatan, penggunaan bahan penghambat tumbuhnya jamur (mold inhibitor) ,penyimpanan makanan ternak serta memperhatikan efek kandungan bahan-bahan pakan

3.2              SARAN
Perlunya penelitian lebih lanjut, sehingga nantinya dapat ditemukan obat atau antitoksin dari mikotoksin. Mengingat manusia dapat juga memiliki peluang yang cukup besar terkena efek berbahaya dari mikotoksin.





DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2004. Gizi dalam daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada Pangan. SNI. Jakarta
Maryam, R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology),  1(1): 51-57.
Pilliang, W.G. 1995. Nutrisi Vitamin Volume II. Penerbit IPB. Bogor.
Ali, N., Sardjono,  A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998.  Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia.  Jakarta: Food Add Contaminant. 15: 377-384.
Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada Pangan. Jakarta: SNI.
Ariana, Yana. 2013. Dampak Mikotoksin terhadap kesehatan dan produktivitas hewan serta solusi penanggulangannya. Jakarta:  novindo.
Badan POM.2008. Kontaminasi Mikotoksin Dalam Pangan dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jakarta: Media Indonesia.
Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Bogor: Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275
Maryam, Romsyah. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin Fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57
Maryam, Romsyah. 2000b. Kontaminasi pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Bogor : Presentasi poster pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Maryam, Romsyah.  2006. Pengendalian Terpadu Kontaminasi  Mikotoksin. Balai  Pertanian  veteriner. 16:1
Maryam, Romsyah. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati Ayam. Bogor : Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 236-339.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar