BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Saat
ini banyak masyarakat yang sangat mengkhawatirkan zat- zat kimia yang banyak
terkandung dalam makanan- makanan baku maupun makanan- makanan olahan (instan).
Padahal keberadaan toksin alami dalam makanan yang dihasilkan oleh
mikroorganisme juga sangat perlu diperhatikan karena toksin ini bersifat karsinogenik yang lebih potensial.
Salah satu toksin alami yang bisa terkandung dalam makanan adalah mikotoksin.
Mikotoksin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang
dihasilkan oleh jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun
atau toksin hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan
perubahan fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa
keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan yang telah tercemar
mikotoksin.
Mikotoksin
atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab,
terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan
kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau
toksin.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan mikotoksin?
2.
Apa saja jenis dari mikotoksin?
3.
Bagaimana cara pencegahan dan penanganan
mikotoksin?
1.3
TUJUAN
Agar
mahasiswa terutama mahasiswa kedokteran hewan mengetahui tentang mikotoksin,
sumber, jenis, penyakit, serta cara pencegahan dan penanganan dari mikotoksin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PENGERTIAN
MIKOTOKSIN
Mikotoksin
adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh jamur
Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau toksin hasil dari
proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis
abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa keracunan yang disebabkan oleh
makanan atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin
atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab,
terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan
kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau
toksin.
2.2
JENIS-JENIS
MIKOTOKSIN
2.2.1
AFLATOKSIN
Aflatoksin
berasal dari singkatan Aspergillus Flavus Toxin. Toksin ini
pertama kali diketahui berasal dari jamur Aspergillus Flavus yang
berhasil diisolasi pada tahun 1960. Aspergillus Flavus sebagai penghasil
utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2
(AFB1 dan AFB2) Sedangkan Aspergillus
Parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1,
dan AFG2. Dimana dibedakan berdasarkan penampakan
fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapisan tipis dibawah sinar UV, yang
memberikan warna biru (blue) untuk B,
sedangkan warna hijau (green) untuk
yang G. Aspergillus Flavus dan Aspergillus Parasiticus
ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C
sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C
dan ph optimum 6.
Diantara
keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang
paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik
sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan
sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat
immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Alfatoksin
berupa kristal yang larut dalam pelarut polar separti kloroform, methanol dan
dimetil sulfoksida. Kristal alfaktosin stabil pada kondisi tanpa cahaya dan pada
suhu sampai lebih dari 1000C, bersifat termotoleran pada sampao 2500C
dan peka terhadap basa (NaOH, NH3). Keefektifan proses penurunan
konsentrasi alfatoksin pada bahan pangan dipengaruhi oleh factor seperti
protein, pH, suhu, dan lamaya pengolahan. Toksisitas alfatoksin dipengaruhi
oleh beberapa factor-faktor, diantaranya lingkugan, rute pemaparan, dosis, lama
pemaparan, umur, jenis kelamin, kondisi kesehatan dan status target.
Jenis
mikotoksik ini sering terdapat dalam jagung dan hasil olahannya, biji kacang,
susu, tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu
juga terdapat pada pasta dan mie instan.
Di
Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada
produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan
metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti, telur, dan daging
ayam. Telah dilaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15
orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang
goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada
contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400
µg/kg.
Gambar
1. Struktur Kimia Aflatoksin
2.2.2
CITRININ
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium
Citrinum oleh Thom pada tahun 1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai
kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye).
Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi
perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan
tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna
merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah.
Gambar
2. Struktur Kimia Citrinin
2.2.3
FUMONISIN
Fumonisin termasuk kelompok
toksin fusarium yang dihasilkan oleh jamur Fusarium spp., terutama Fusarium Moniliforme dan Fusarium Proliferatum.
Mikotoksin ini relatif
baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari Fusarium Moniliforme pada
tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988). Selain Fusarium
Moniliforme dan Fusarium Proliferatum, terdapat pula jamur lain yang
juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu Fusarium Nygamai, Fusarium
Anthophilum, Fusarium Diamini dan Fusarium Napiforme.
Hingga saat ini
telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1),
FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2,
FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.
Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan
dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak
mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan
pada beras yang terinfeksi oleh Fusarium Proliferatum. Fumonisin pertama kali ditemukan dalam jagung pada
pertengahan tahun 1980-an. Keberadaannya juga terdapat pada komoditas pangan
lain seperti beras dan sorgum namun konsentrasinya lebih rendah dibanding pada
jagung. Batasan fumonisin dalam jagung
mentah sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban,
stres terhadap kekeringan dan hujan selama periode sebelum panen dan periode
panen, kondisi penyimpanan, dan gangguan serangga.
Konsentrasi fumonisin biasanya meningkat pada
musim panas dan kering dan pada periode dimana kelembaban tinggi. Pada jagung
yang disimpan, jika kelembabannya berkisar antara 18 % - 23 % biasanya produksi
jamur meningkat sebanding dengan konsentrasi fumonisinnya.
Gangguan serangga meningkatkan produksi fumonisin. Namun
pada jagung hibrid jarang terinfeksi oleh Fusarium karena disisipi oleh gen
dari Bacillus Thuringiensis yang memproduksi protein yang toksik
terhadap serangga sehingga konsentrasi fumonisin yang terdapat pada jagung
hibrid lebih rendah daripada jagung non hibrid.
Struktur kimia fumonisin ialah hidrokarbon panjang yang
dihidroksilasi dan mengandung gugus metil dan amino dengan berat molekul 721.
Substansi murni fumonisin berbentuk bubuk hidroskopik berwarna putih dan larut
dalam air, metanol dan asetonitril-air. Fumonisin sulit larut dalam pelarut
organik seperti kloroform. Fumonisin stabil dalam metanol jika disimpan pada
-18 °C atau pada suhu 25 °C dalam asetonitril-air 1:1 selama lebih dari 6
bulan. Pada suhu diatas 25 °C akan terdegradasi. Mikotoksin ini sering terdapat
bersamaan dengan mikotoksin lain seperti aflatoksin, DON dan zearalenon.
Fumonisin cukup stabil dan cukup tahan terhadap panas.
Fumonisin diperkirakan
bersifat toksik karena mempengaruhi sintesi sphingolipid. klop;
Perubahan rasio dasar sphingolipid terjadi karena fumonisin menghambat
enzim eramide sythetase. Efek fumonisin pada hewan target setelah
mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi yaitu hilang nafsu makan, lesu dan
mengalami gangguan saraf.
Pada tikus yang diberi
pakan mengandung fumonisin dari FUSARIUM moniliforme menunjukkan terjadi
perkembangan karsinoma hepatoseluler primer. Efek yang sama juga terjadi saat
digunakan FB1,FB2 dan FB3. Fumonisin B1
(FB1) akan mempengaruhi janin pada tikus yang hamil, yaitu
menyebabkan berat janin rendah dan perkembangan tulang fetus terhambat
dibandingkan dengan kontrol. Efek lain
pernah ditemukan pada organisme lain, dimana FB1 menghambat
pertumbuhan sel, menyebabkan akumulasi sphingoid dan merubah metabolisme
lemak pada Saccharomyces cereviceae.
Fumonisin juga bersifat fitotoksik, merusak
membran sel dan mengurangi sintesis klorofil.
Selain itu fumonisin juga mengganggu biosintesis sphingolipid pada tanaman dan bersifat patogen pada jagung yang terinfeksi spesies
Fusarium. Fumonisin dapat menyebabkan
penyakit sporadis yang fatal pada kuda dan spesies lain yang dikenal sebagai Eguine Leucoencephalomalacia (ELEM).
ELEM merupakan indikator keberadaan fumonisin.
Hasil otopsi pada hewan percobaan menunjukkan
fumonisin menyebabkan udema pada otak dan peradangan pada organ hati (terjadi
fibrosis pada centrilobular (area).
Pada babi, menginduksi oedema
paru-paru dan hidrotoraks dimana rongga toraks berisi cairan berwarna kuning.
Selain itu terdapat juga masalah dalam pernapasan dan kematian pada janin.
Sebetulnya tidak ada bukti mengenai efek
fumonisin terhadap kesehatan manusia. Namun diperkirakan terdapat hubungan
antara konsumsi jagung yang tinggi di beberapa daerah didunia dengan terjadinya
kanker esofagus. Tetapi perlu dilakukan studi epidemi yang lebih dalam mengenai
peranan Fusarium Moniliforme dan metabolitnya (fumonisin) terhadap
kanker esofagus yang banyak terjadi di Transkei Cina dan Italia Utara, karena
pada studi-studi ini kontrol yang digunakan masih kurang, sehingga belum dapat disimpulkan
sepenuhnya.
Gambar
3. Struktur Kimia Fumonisin
2.2.4
DEOKSINIVALENOL
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis
trikotesena tipe B yang paling polar dan stabil. Jenis mikotoksin ini
diproduksi oleh jamur Fusarium Graminearium (Gibberella zeae) dan
Fusarium Culmorum, dimana keduanya merupakan patogen pada tanaman. DON
merupakan suatu epoksi-sesquiter-penoid yang mempunyai 1 gugus hidroksil primer
dan 2 gugus hidroksil sekunder serta gugus karbonil berkonjugasi yang
membedakannya dengan trikotesena tipe lain.
Keberadaan DON kadang-kadang disertai pula oleh mikotoksin
lain yang dihasilkan oleh Fusarium seperti zearalenon, nivalenol (dan
trikotesena lain) dan juga fumonisin. DON merupakan salah satu penyebab
terjadinya mikotoksikosis pada hewan. Merupakan mikotoksin yang stabil secara
termal, oleh karena itu sangat sulit untuk menghilangkannya dari komoditi
pangan yang rentan terkontaminasi senyawa ini, seperti pada gandum. DON banyak
terdapat pada tanaman biji-bijian seperti gandum, barley, oat, gandum
hitam, tepung jagung, sorgum, tritikalus dan beras. Pembentukan DON pada
tanaman pertanian tergantung pada iklim dan sangat bervariasi antar daerah
dengan geografi tertentu.
Konsentrasi DON yang pernah dideteksi pada bahan pangan
yaitu pada barley mencapai 0,004 mg/kg -9 mg/kg, 0,003 mg/kg -3,7 mg/kg
pada jagung, 0,004 mg/kg – 0,76 mg/kg pada oat, 0,006 mg/kg - 5 mg/kg
pada beras, 0,013 mg/kg - 0,240 mg/kg pada gandum hitam, dan 0,001 mg/kg -6
mg/kg pada gandum.
Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula ditemukan pada
produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mi instan, makanan bayi, malt
dan bir. Transfer DON dari pakan ternak ke dalam daging dan produk hewan
lainnya sangat rendah. Selain itu produk dari hewan ini tidak mempunyai
kontribusi yang nyata terhadap manusia.
Toksisitas akut DON diperlihatkan pada babi dengan gejala
keracunan seperti muntah-muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan
diare. Intoksikasi akut menyebabkan nekrosis pada beberapa jaringan seperti saluran
pencernaan, jaringan limfoid dan sumsum tulang.
Penelusuran subkronik secara oral pada beberapa hewan
percobaan seperti babi, mencit dan tikus juga menunjukkan terjadi penurunan
asupan makan dan peningkatan berat badan menjadi sangat lambat serta terjadi
perubahan pada beberapa parameter darah seperti pada serum immunoglobin.
DON dapat dimetabolisme melalui de-epoksidasi dan
glukuronidasi menjadi metabolit yang tidak terlalu toksik serta mempunyai efek
terhadap kesehatan setelah diberikan secara tunggal, jangka pendek ataupun
jangka panjang. Pada pemberian tunggal, efek toksikologinya mempunyai 2
karakter yaitu menurunkan konsumsi makanan (anoreksia) dan muntah (emesis).
Selain itu dapat mengganggu proses pembelahan sel dan merusak saluran pencernaan.
Efek yang paling tampak dalam pemberian DON adalah
menurunya pertumbuhan hewan target. Pada dosis yang lebih tinggi akan berefek
terhadap, thymus, limpa dan hati. Pada studi selama 2 tahun terhadap
mencit, pemberian dengan dosis rendah (0,1 mg/kg BB/hari) menyebabkan
menurunnya berat badan. Namun hasil ini secara biologi tidak nyata, karena
tidak ada perubahan lain pada dosis ini, maka Observed Effect Level
(NOEL)-nya ialah 0,1 mg/kg BB/hari.
DON tidak mutagenik pada bakteri, namun pada studi in vivo
dan in vitro ditemukan adanya penyimpangan pada kromosom yang
mengindikasikan DON genotoksik. Memiliki sifat teratogenik tetapi tidak
diturunkan. Hal ini berdasarkan studi pada mencit yang sedang hamil yang diberi
5 mg/kg BB/hari DON secara gavage selama periode gestasi 8 hari -11
hari. Namun saat diberi dosis 2,5 mg/kg BB/hari hal ini tidak berlaku. Jika DON
ditambahkan pada pakan, NOEL untuk toksisitas maternal dan toksisitas feto-nya
ialah 0,38 mg/kg BB/hari.
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, DON dapat berefek
tidak baik terhadat sistem kekebalan tubuh. DON tidak menyebabkan efek
karsinogen, mutagen ataupun teratogen karena bukti ilmiahnya belum pernah
ditemukan baik melalui percobaan hewan di laboratorium maupun pada hewan
target.
2.2.5
PATULIN
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa
ini adalah Penicillium expansum. Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran,
sereal, dan terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel
sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari
jaringan-jaringan tumbuhan Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat
memusnahkan patulin. Merupakan mikotoksin yang
dapat mengkontaminasi berbagai jenis buah (apel,anggur, pir), sayuran, jagung
kering, sereal dan makanan ternak. Sumber utama patulin yang membahayakan
manusia terdapat pada apel dan jus apel, terutama yang dibuat dengan pemerasan
secara langsung. Produk lain yang mengandung apel seperti selai, pie juga
mengandung patulin dalam konsentrasi rendah. Cider manis juga dapat
mengandung patulin jika ke dalamnya ditambahkan jus apel. Patulin yang terdapat
pada apel busuk yang terkontaminasi oleh jamur dan juga pada cider apel
manis yang diperjualbelikan mencapai 45 mg/liter.
Pada studi akut dan jangka pendeknya, patulin
menyebabkan hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada
saluran pencernaan. Berdasarkan studi toksisitas yang telah dilakukan selama 13
minggu pada tikus yaitu 0,8 mg/kg BB/hari, menyebabkan melemahnya fungsi ginjal.
Selain itu juga menyebabkan hyperaemia di duodenum pada kelompok tikus
yang diberi dosis menengah dan tinggi. Dua studi toksisitas reproduktif pada
tikus dan studi teratogenitas pada mencit dan tikus sudah dilakukan. Hasilnya
tidak ada efek reproduktif ataupun teratogenik yang terjadi pada mencit ataupun
tikus pada dosis sampai 1,5 mg/kg BB/hari. Namun peningkatan frekuensi resorpsi
fetal dan toksisitas maternal ditemukan pada perlakuan dosis tinggi yang
mengindikasikan patulin toksik pada embrio.
Pada tikus, dosis patulin yang diberikan pada umumnya akan
hilang setelah 48 jam pada feses maupun urin; dan kurang dari 2 % akan
terekspirasi sebagai CO2; sekitar 2 % dari dosis yang diberikan itu
akan tetap ada setelah 7 hari, dan biasanya terdapat dalam eritrosit.
Kera ekor babi (Macaca nemestrina)
dapat mentoleransi konsumsi patulin sampai
0,5 mg/kg BB/hari selama 4 minggu tanpa efek yag merugikan. Eksperimen in vitro dan in vivo
mengindikasikan bahwa patulin mempunyai sifat imunosupresan. Namun dosis yang
menyebabkan efek ini, lebih tinggi daripada NOEL dalam studi toksisitas jangka
pendek dan studi gabungan antara toksistas reproduktif-toksisitas jangka
panjang-studi karsinogenitas.
Meskipun terdapat data mengenai genotoksisitas, sebagian
besar pengujian menggunakan sel mamalia memberikan hasil positif sedangkan
pengujian dengan bakteri memberikan hasilnegatif. Beberapa studi
mengindikasikan bahwa patulin mengganggu sintesis DNA. Efek genotoksisitas
berkaitan dengan kemampuan dan afinitas patulin yang kuat dengan kelompok
sulfidril dan akibatnya enzim yang terlibat dalam replikasi DNA terhambat
aktivitasnya. Dengan kata lain, dari data yang ada patulin merupakan senyawa
genotoksik. Toksisitas patulin yang terbentuk dengan sistein lebih rendah
daripada senyawa yang tidak dimodifikasi dalam hal toksisitas akut,
teratogenitas dan mutagenitas.
Patulin yang diinjeksi dalam dosis tinggi selama lebih dari
2 bulan berefek karsinogen,ditandai terbentuknya sarkoma pada lokasi injeksi.
Pada studi jangka panjang dengan dosis rendah, efek karsinogen ini tidak
terjadi. Patulin juga bersifat immunotoksik dan neurotoksik. IARC (1986)
menyimpulkan tidak ada evaluasi yang dibuat mengenai karsinogenitas patulin
pada manusia dan tidak ada hasil percobaan terhadap hewan yang mendukung.
Berdasarkan studi jangka panjang mengenai karsinogenitas pada tikus dan mencit,
JECFA menetapkan PTWI sebesar 7 µg/kg BB.
Pada studi gabungan tentang toksisitas reproduktif,
toksisitas jangka panjang/karsinogenitas pada tikus, dosis patulin sebanyak 0,1
mg/kg BB/hari tidak memberikan efek terhadap penurunan berat badan pada tikus
jantan. Namun patulin yang diberikan 3 kali seminggu selama 24 bulan mempunyai
NOEL 43 µg/kg BB/hari.
Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, patulin akan
memberikan hasil sensitif jika diberikan sebanyak 3 kali per minggu; dan ini
menghasilkan PTWI yang berubah menjadi PMTDI; hal ini disebabkan karena patulin
tidak terakumulasi dalam tubuh. Berdasarkan pada nilai NOEL 43 µg/kg BB/hari
dan nilai safety factor
100, nilai PMTDI yang didapat ialah 0,4 µg/kg BB.
Patulin dapat menyebabkan hyperaemia, pendarahan, peradangan dan
pembengkakan pada saluran pencernaan; selain itu juga karena afinitasnya yang
kuat dengan kelompok sulfidril; patulin dapat menghambat enzim yang terlibat
dalam replikasi DNA sehingga proses sintesis DNA terganggu. Patulin dalam dosis
tinggi berefek karsinogen. Patulin juga bersifat immunotoksik dan neurotoksik.
Gambar
4. Struktur Kimia Patulin
2.2.6
OCHRATOXIN
Ochratoxin dihasilkan oleh jamur dari
genus Aspergillus, Fusarium, and Penicillium dan banyak
terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari serealia, babi, ayam, kopi, bir,
wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat tiga macam ochratoxin
yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak dipelajari
adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik diantara yang lainnya.
Pada suatu penelitian menggunakan tikus
dan mencit, diketahui bahwa ochratoxin A dapat ditransfer ke individu
yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya.Pada anak-anak (terutama
di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya relatif lebih besar
karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar.Infeksi ochratoxin A juga
dapat menyebar melalui udara yang dapat masuk ke saluran pernapasan. Okratoksin A
mempunyai nomor CAS 303-47-9 berupa senyawa berbentuk kristal tidak berwarna
dengan titik leleh 168 °C dan larut dalam kloroform, metanol, asetonitril,
natrium bikarbonat cair. Jenis mikotoksik ini
pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari jamur Aspergillus ochraceus.
Secara alami A. ochraceus
terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian,
kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain Aspergillus ochraceus, OA juga
dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum yang terdapat pada
biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa
bagian utara. Penicillium viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 –
310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7.
Aspergillus ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 – 370C.
Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA),
Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). Okratoksin A adalah yang
paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.
Gambar
5. Struktur Kimia Ochratoxin
2.2.7
TRICHOTHECENES
Terdapat
37 macam sesquiterpenoid alami yang
termasuk ke dalam golongan trichothecene dan biasanya
dihasilkan oleh Fusarium,
Stachybotrys, Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium.Toksin ini
ditemukan pada berbagai serealia dan biji-bijian di Amerika,
Asia, dan Eropa Toksin ini
stabil dan tahan terhadapa pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan
autoclave.Selain itu, apabila masuk ke dalam pencernaan
manusia, toksin akan sulit dihidrolisis karena stabil pada pH asam dan netral.
Berdasarkan struktur kimia dan jamur penghasilnya, golongan trichothecene
dikelompakan menjadi 4 tipe, yaitu A (gugus
fungsi selain keton
pada posisi C8), B (gugus karbonil pada C8), C (epoksida pada C7,8 atau C9,10)
dan D (sistem cincin mikrosiklik antara C4 dan C15 dengan 2 ikatan ester).
Gambar
6. Struktur Kimia Trichothecenes
2.2.8
ERGOT ALKALOID
Ergot alkaloid diproduksi
oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama adalah golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan
dapat menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui
dalam dua bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive).
Pembersihan serealia
secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap kontaminasi
senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan varietas benih yang digunakan
tidak resiten terhadap Claviceps purpurea,
penghasil ergot alkaloid. Pada hewan
ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue toxicosis
yang ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot
tubuh, dan fertilitas
menurun.
2.2.9
ZEARALENONE
Zearalenone
adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh jamur dari genus Fusarium
seperti Fusarium graminearum dan Fusarium culmorum dan banyak
mengkontaminasi nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk
tumbuhan.Senyawa toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan
pemasakan makanan karena tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi. Salah
satu mekanisme toksin ini dalam menyebabkan penyakit pada manusia adalah
berkompetisi untuk mengikat reseptor estrogen.
Gambar
7. Struktur Kimia Zearalenone
2.2.10
GRISEOFULVIN
Ditemukan oleh oxford pada tahun 1939 dari
miselia. Dihasilkan oleh spesies jamur Penicillium Griseofulvum dan spesies lainnya yang meliputi
spesies Penicillium Patulum, Penicillium
albidum, Penicillium Raistrickii, Penicillium Brefeldianum, dan Penicillium Viridi-cyclopium.
2.2.11
RUBRATOXIN
Hasil metabolit Penicillium Rubrum
diisolasi dari tanah, bahan pangan ,pakan dihasilkan oleh dua spesies yaitu Penicillium Rumrum dan Penicillium Purpurogenum
2.2.12
BUTENOLIDE
Merupakan mikotoksin yang diisolasi dari
jamur Fusarium Equiseti dan spesies lainnya adalah Fusarium Tricinotum,
Fusarium Nivale, Fusarium Roseum, Fusarium Semitectum, Fusarium Lateritium.
2.2.13
LUTEOSKYRIN
Merupakan mikotoksin penyebab
hepatotoksik dan hepato carcinogenik, dihasilkan oleh Penicillium Istandicum
2.2.14
RUGULOSIN
Rugulosin merupakan metabolit
antraquinoid jamur. Mikotoksin ini diisolasi dari jamur penicillium Rugulosum dan spesies lainnya yaitu Penicillium Brunneum dan Penicillium Tardum
2.2.15
CITREOVIRIDIN
Merupakan mikotoksin bersifat
neurotoksik dihasilkan oleh Penicillium Citreo –Viride.
Jenis mikotoksin ini ditemukan oleh miyeke pada tahun 1940. Species lainnya
penghasil citreoviridin adalah Penicillium Ochrosalmoneum, Penicillium Fellutanum dan Penicillium Pulvillorum
2.3
PENCEGAHAN
DAN PENANGANAN MIKOTOKSIN
Kontrol terhadap mikotoksin sangat penting
dilakukan terutama bagi produsen peternakan dan pabrik pakan. Kontrol terhadap
timbulnya jamur dapat dilakukan dengan menjaga kadar air di dalam pakan rendah,
menjaga pakan selalu segar serta menjaga peralatan agar tetap bersih.
Biji-bijian yang telah dikeringkan harus disimpan di tempat yang kering dimana
kadar airnya kurang dari 14 % untuk mencegah tumbuhnya jamur. Aliran udara atau
venttilasi yang baik pada tempat penyimpanan pakan (biji-bijian) Penting untuk
mengurangi kadar air dan menjaga agar bahan pakan tetap kering.
2.3.1.
Kontrol Kadar Air
Kandungan air dalam pakan menjadi salah
satu faktor utama akan berkembang nya jamur. Air yang terkandung didalam pakan
didapat dari 3 sumber yaitu :
1.
Kandungan pakannya.
2.
Proses pakan di pabrik
3.
Tempat dimana pakan disimpan
Untuk mengendalikan kandungan kadar air
maka ketiga faktor tersebut diatas harus diperhatikan.Jagung dan jenis
biji-bijian lain merupakan bahan pakan yang tinggi kadar air dan sumber
timbulnya jamur dalam pakan.Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah kontrol
kadar air agar kadar airnya selalu rendah. Semua pakan mengandung kadar air
tertentu , maka kadar air tersebut harus dimonitor dan dikontrol.Umumnya pada
biji-bijian jarang timbul jamur, namun jika kondisinya memungkinkan maka jamur
juga bisa tumbuh Biji-bijian yang ditumpuk maksimal kadar airnya adalah 15 %.
Biji-bijian dengan kadar air yag tinggi memungkinkan tumbuhnya jamur akan tingi
pula. Banyaknya jamur yang tumbuh pada biji-bijian yang pecah lima kali lebih
banyak dibandingkan pada biji-bijian yang masih utuh.Proses penggilingan bahan
pakan digunakan mesin penggiling untuk membantu pencampuran. Proses
penggilingan menjadi pecahan ini menimbulkan panas.Jika tidak dikontrol, maka
temperatur akan meningkat lebih dari 10 of sehingga akan timbul
titik-titik air. Titik-titik air ini menunjang tumbuhnya jamur. Hal ini juga
dapat terjadi terutama jika udara dingin. Sehingga perbedaan suhu ini
menyebabkan air akan berkondensasi di bagian dinding tempat peggilingan.
Disarankan sintem penggilingan (hummer milk) disertai dengan menggunakan
sirkulasi udara /ventilasi yang dapat menurunkan / mengurangi panas pada produk
pakan dan mengurangi timbulnya titik-titik air.
Proses pelleting pakan menggunakan uap air
dengan penambahan panas dan penambahan air 3-5% dengan tekanan tertentu.
Kemudian pellet tersebut didinginkan untuk menghilangkan panas dan mengurangi
kandungan air. Jika proses pelleting dilakukan dengan tepat, maka kelebihan air
dapat dikurangi. Namun jika kelebihan air ini tidak dapat dikurangi maka saat
pendinginan pellet, dapat menumbuhkan jamur.Saat pendinginan pada proses
pelleting,pellet yang masih panas yang keudian ditempatkan pada tempat yag
dingin akan menyebabkan kondensasi pada bagian dinding. Hal ini perlu
diperhatikan dengan baik, karena jika proses pelleting lambat, maka resiko timbulnya
jamur juga akan tinggi.
2.3.2.
Kontrol Kondisi Lingkungan Tempat Menyimpan Pakan
Untuk
mengontrol pertumbuhan jamur, sumber timbulnya air dari tempat penampungan
pakan dan peralatan penyimpanan perlu dihindari. Sumber air ini dapat timbul karena kebocoran tempat
penyimpanan, bagian atap gudang atau atap tempat pengilingan. Timbulnya air
pada pakan seringkali dilewatkan. Pada sistem perkandangan close house banyak dilakukan dengan memberikan rasa dingin yang
menyebabkan kondisi lingkungan lebih lembab. Kelembaban pada sistem
perkandangan ini harus dikontrol dengan sistem ventilasi yang cukup.
2.3.3.
Kontrol Agar pakan Tetap Segar
Sebaiknya pakan yang diberikan ke ternak masih
dalam
keadaan segar. Pakan seharusnya dikonsumsi habis maksimal
dalam waktu 10 hari setelah pengiriman. Hal yang perlu dilakukan adalah mengatur sistem
pengiriman pakan untuk memastikan bahwa pakan tersebut harus habis.
Selain itu pemberian pakan sebaiknya diberikan
secara bertahap. Ternak umumnya akan memakan pakan yang ada dibagian atas sedangkan
pakan yang ada dibagian bawah telewatkan sehingga kemungkinan jamur bisa
tumbuh. Untuk mencegah masalah ini, seharusnya pakan ditempat pakan dihabiskan
sebelum datang pakan yang baru.Prinsip pengeluaran dari gudang juga sama yang
biasa disebut dengan “all in all aut”
2.3.4.
Kebersihan Peralatan
Saat pakan dikirim ke farm, dimungkinkan
terjadi kontak dengan pakan yang lama yang masih tertinggal pada saat
penyimpanan pakan atau pengiriman pakan.pakan lama tersebut seringkali terdapat
jamurnya dan jika kontak dengan pakan baru maka kesempatan jamur untuk tumbuh
dan membentuk mikotoksin akan meningkat. Untuk mencegahnya, sisa pakan lama sebaiknya
dibersihkan dahulu dari peralatan tersebut.
2.3.5.
Penggunaan Bahan Penghambat Tumbuhnya jamur (Mold
inhibitor)
Penggunaan
bahan kimia penghambat tumbuhnya jamur merupakan salah satu cara yang baik
digunakan dalam industri pakan.
Tipe
mold inhibitor utama antara lain adalah :
1.
Asam
organik atau kombinasi beberapa asam-asam organik (Propionat, sorbat, benzoat,
dan asam asetat)
2.
Garam
dari asam organik (contohnya : kalsium Propionat dan potasium sorbat)
3.
Tembaga sulfat . Bahan-bahan kimia ini baik bentuk
padat ataupun cair cara kerjanya sama dan menyebar rata keseluruh paka. Umumnya
bentuk asam lebih efektif dibanding bentuk yang lainnya.
Banyak
faktor yang mempengaruhi keefektifan dari jamur, Mold inhibitor (penghambat jamur)
efektif jika inhibitor ini didistribusikan secara merata keseluruh bagian
pakan, yang berarti keseluruhan permukaan partikel pakan berkontak langsung
dengan inhibitor ini seharusnya juga menembus partikel pakan sehingga bagaian
dalam jamur dapat dihambat.ukuran partikel dari mold nhibitor ini seharusnya
lebih kecil dari partikel pakan.
2.3.6.
Penyimpanan Makanan Ternak
Penyimpanan
bahan makanan sangatlah memegang peranan yang penting dalam menjaga kualitas
makanan tersebut. Penyimpanan yang kurang tepat dapat menurunkan kualitas
bahkan dapat berbahaya bagi kesehatan ternak. Sehingga diperlunya teknik
penyimpanan yang tepat agar bahan kualitas bahan makanan tersebut tetap terjaga.
Adapun cara-cara yang efektif untuk meyimpan makan ternak antara
lain:
1.
Hay
Hay adalah hijau yang sengaja dipotong dan
dikeringkan agar diberikan kepada ternak. Cara penimpanan makanan ini
dilakukan dengan memotong (copper) hijauan yang kemudian langsung dijemur.
Penjemuran dilakukan dengan disebarkan tipis dan setiap saat terus
dibolak – balik 2 jam. Usahakan pada penjemuran berlangsung dalam waktu singkat
sehingga kadar air menjadi 15 – 20 %. Setelah
kering dikumpul pres dan dikat tali untuk memudahkan tempat penyimpanan.
Ciri-ciri hay yang baik adalah warna hijau kekuningan, buanya harum,bentuk daun
masih utuh.tidak berjamur.
2.
Silage
Silage merupakan hijauan
yang disimpan dalam bentuk segar yang diawetkan dalam silo. Penyimpanan ini
dilakukan dengan memotong hijauan agar berukuran pendek ± 6 cm agar memudahkan
pemadatan dalam penyimpanan. Kemudian bahan itu dilayukan sampai kadar air 60 –
70 %. Selajutnya dicampur dengan bahan
pengawet 4 – 5 % (dedak/tetas) dan dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam
silo. Proses pemasukan campuran tadi akan terus berlangsung hingga silo tadi
penuh. Agar silo benar-benar penuh, dalam pemasukan campuran tadi perlu
diinjak-injak. Bila silo sudah penuh, permukaannya ditutup rapat sehingga udara
dan air tidak dapat masuk.
Silase yang baik memiliki ciri-ciri berasa dan berbau asam
serta berwarna hijau bukan coklat. Selain itu dalam penyimpanannya silo tadi
tidak dijemur tetapi diletakkan di tempat yang teduh. Tidak berlendir dan tidak
bergumpal melupakan cirri-ciri lain kalo silo itu baik.
3.
Amoniasa
Amoniasi merupakan proses perombakan dari
struktur keras menjadi struktur lunak. Selain itu pada proses ini juga terjadi
penambahan unsure N dengan mengunakan gas (NH3) dari urea untuk meningkat
kualitas dari limbah jerami. Peroses penyimpanannya hampir sama dengan silase.
Yaitu dengan memasukkan jerami dimasuk kedalam silo sedikit demi sedikit sambil
dinjak-injak agar menjadi padat.
Sebagai bahan tambahan, larutan dalam ember berisi 400 liter
air dengan memasukkan 60 kg urea didauk sampai seluruh urea larut. Kemudian
siramkan larutan urea tersebut kedalam silo yang berisi jerami. Agar silo
benar-benar kedap udara, tutuplah permukaan silo dengan plastik diikat dengan
rapi
Setelah
satu bulan silo dapat dibuka dan jerami sudah matang. Jerami tersebut harus
diangikan selama 2 hari sebelum diberikan pada ternak. Amoniasa yang baik
memiliki cirri-ciri berbau urea (amoniak, memiliki struktur yang lembut dan
tidak ditumbuhi jamur.
4.
Jerami fermentasi
Fermentasi merupakan proses perombahan dari
struktur keras secara fisik, kimia dan biologi sehingga bahan dari
struktur yang komplek menjadi sederhana. Hal ini akan membuat daya cerna ternak
menjadi lebih efesien.
Dalam proses pembuatannya, jerami 100 kg dibutuhkan starbio 6
kg dan urea 6 kg (0,6 %). Diawali dengan penyusunan jerami dengan ketebalan
± 30 cm pada tempat yang teduh. Kemudian tebarkan starbio dan urea sesuai
dengan perbandingan secara merata. Siram dengan air bersih (digembor) secara
merata diatas tebaran starbio dan urea (agar terjadi reaksi). Usahakan kadar
air ± 60 %. Apabila jerami masih basah (baru disabit/dipotong) penyiraman air
dilakukan tidak terlalu banyak. Penyiraman secara optimal dilakukan jika jerami
sudah kering, agar air membasahi secara keseluruhan lapiasan jerami.
Langkah 2,3,4 ini terus dilakukan secara
silih berganti sampai jerami memenuhi tempat,minimal 1,5 meter tingginya.
Setelah selesai menumpuk jerami tunggu waktu selama 21 hari, hasil jerami
dibongkar dan dianginkan (jemur) agar buanya hilang. Hasil jerami fermentasi
saiap diberiakan pada ternak (sapi,kambing,kerbau) dan ternak lain yang
membutuhkan HPT atau untuk disiapkan untuk persediaan.untuk menghemat tempat
penyimpanan dan memudahkan distribusi jerami fermentasi dipres memakai mesin
pres jerami.
2.3.7.
Memperhatikan Efek Kandungan Bahan-bahan Pakan
Bahan
pakan tertentu juga dapat mempengaruhi mold nhibitor,protein atau suplementasi
mineral (sebagai contoh tepung by produk
unggas, tepung ikan, bungkil kedelai dan tepung batu) akan menurunkan
efektifitas dari asam propionat.Bahan-bahan tersebut dapat menetralkan
asam-asam bebas dan mengubahnya menjadi garam, sehingga menjadi kurang aktif
sebagai inhibitor.Pakan lemak cendrung meningkatkan aktifitas asam-asam
organik, dengan jalan meningkatkan penetrasi (penembusan) ke dalam partikel
pakan.
Mold
inhibitor yang digunakan dalam konsentrasi yang direkomendasikan, akan
menghasilkan pakan yang bebas jamur, jika menginginkan pakan yang bebas jamur
dalam jangka waktu yang lama,maka konsentrasi inhibitor arus tinggi.
Konsentrasi inhibitor mulai menurun.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
KESIMPULAN
Mikotoksin
adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh
jamur Lebih lengkapnya, mikotoksin didefinisikan sebagai racun atau toksin
hasil dari proses metabolisme sekunder jamur yang dapat menyebabkan perubahan
fisiologis abnormal atau pathologis pada manusia dan hewan. Mikotoksikosis adalah peristiwa
keracunan yang disebabkan oleh makanan atau pakan yang telah tercemar mikotoksin.
Mikotoksin
atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi lingkungan lembab,
terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan baku ransum dengan
kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang menghasilkan racun atau
toksin.
Adapun
jenis-jenis mikotoksin adalah sebagai berikut aflatoksin, Citrinin, fumonisin,
deoksinivalenol, patulin, ochratoxin ,trichothecenes ,ergot alkaloid
,zearalenone ,griseofulvin ,rubratoxin ,butenolide ,luteoskyrin ,rugulosin Dan
citreoviridin.untuk mencegah bahaya daripada racun yang dihasilkan oleh jamur,
maka ada beberapa cara sebagai upaya pencegahan dan penanganan mikotoksin yang
meliputi kontrol kadar air, kontrol kondisi lingkungan tempat menyimpan pakan,
kontrol agar pakan tetap segar, kebersihan peralatan, penggunaan bahan
penghambat tumbuhnya jamur (mold inhibitor) ,penyimpanan makanan ternak serta
memperhatikan efek kandungan bahan-bahan pakan
3.2
SARAN
Perlunya penelitian lebih lanjut, sehingga nantinya dapat
ditemukan obat atau antitoksin dari mikotoksin. Mengingat manusia dapat juga
memiliki peluang yang cukup besar terkena efek berbahaya dari mikotoksin.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman.
2004. Gizi dalam daur Kehidupan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Anonim.
2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik
Pada Pangan. SNI. Jakarta
Maryam,
R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin
fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia
(Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 51-57.
Pilliang, W.G. 1995. Nutrisi Vitamin Volume II. Penerbit IPB. Bogor.
Ali, N.,
Sardjono, A. Yamashita, and T.
Yoshizawa. 1998. Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins,
deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia. Jakarta: Food Add Contaminant. 15: 377-384.
Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada
Pangan. Jakarta: SNI.
Ariana, Yana. 2013. Dampak Mikotoksin
terhadap kesehatan dan produktivitas hewan serta solusi penanggulangannya.
Jakarta: novindo.
Badan POM.2008. Kontaminasi Mikotoksin Dalam Pangan dan
Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jakarta: Media Indonesia.
Bahri, S., Ohim,
Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1
pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi.
Bogor: Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi
Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. 21-24 Juli 1994. Hal:
269-275
Maryam, Romsyah. 2000.
Fumonisin: Kelompok mikotoksin Fusarium
yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57
Maryam, Romsyah.
2000b. Kontaminasi pada bahan pakan dan
pakan ayam di Jawa Barat. Bogor : Presentasi poster pada Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Maryam, Romsyah. 2006. Pengendalian
Terpadu Kontaminasi Mikotoksin.
Balai Pertanian veteriner. 16:1
Maryam, Romsyah. 1996.
Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam
daging dan Hati Ayam. Bogor : Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang
Veteriner, 236-339.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar